Ciamis,NUANSA POST– – Pernyataan Ketua DPRD Ciamis, H. Nanang Permana, yang mengusulkan penghapusan bantuan sosial (bansos) untuk kelembagaan dan organisasi, baru-baru ini menuai banyak tanggapan kritis. Usulan ini dianggap kontroversial, terutama karena bansos sering menjadi solusi penting bagi masyarakat yang membutuhkan. Namun, di tengah isu ini, perhatian juga mengarah pada anggaran Pokok Pikiran (Pokir) DPRD, yang dinilai perlu dievaluasi, terutama terkait hibah untuk media.
Muhammad Alif, seorang aktivis sosial dan pemerhati anggaran daerah, menilai bahwa sebelum membahas penghapusan bansos, DPRD seharusnya lebih dulu mengevaluasi anggaran Pokir yang jumlahnya jauh lebih besar.
“Dana Pokir DPRD harus tepat sasaran dan jelas tujuannya, termasuk yang dialokasikan untuk media. Jangan sampai dana ini turun begitu saja tanpa kejelasan, terutama terkait laporan Surat Pertanggungjawaban (SPJ)-nya,” ujar Alif kepada Wartawan Online di sela-sela kesibukannya Kamis, (16/1/2025).
Lanjutnya, Hibah Media dan Independensi yang Terancam
Salah satu sorotan, dana hibah untuk media yang bersumber dari Pokir. Ia menilai bahwa mekanisme pemberian dana ini sering kali tidak transparan dan hanya menguntungkan segelintir pihak.
“Anggaran hibah yang besar ini didistribusikan hanya ke beberapa media tertentu, tanpa dasar penilaian yang jelas. Bahkan, terkesan ada pengkondisian terhadap media-media penerima hibah,” jelasnya.
Selain itu, Alif mengkhawatirkan dampak serius dari pola hibah seperti ini. “Media-Media di Ciamis jangan sampai ‘dinina bobokan’ oleh anggaran Pokir. Jika dibiarkan, independensi mereka akan terancam, sisi kritisnya bisa hilang. Padahal, media adalah pilar penting demokrasi. Ketika independensinya tergadai, dampaknya akan sangat buruk bagi kontrol sosial di daerah,” tegasnya.
Laporan ke Dewan Pers
Tidak berhenti pada kritik, Alif menyatakan akan membawa persoalan hibah media ini ke Dewan Pers.”Kami akan melaporkan penggunaan dana hibah media yang tidak transparan ini ke Dewan Pers. Pasalnya, jika hibah seperti ini terus berlanjut tanpa pengawasan yang jelas, tidak hanya independensi media yang terancam, tetapi juga profesionalisme jurnalisme,” ungkapnya.
Menurut Alif, hibah yang diberikan tanpa memperhatikan kualitas media atau dampak pemberitaan dapat menciptakan kesenjangan besar di antara media lokal. “Banyak media kecil yang justru lebih kritis dan independen, tapi tidak mendapat perhatian. Hibah seperti ini harusnya diberikan secara adil dan berdasarkan kebutuhan yang jelas, bukan karena kedekatan tertentu,”
Desakan Evaluasi dan Peran Pengawasan
Terkait isu ini, Alif mengajak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Inspektorat untuk melakukan audit menyeluruh terhadap anggaran media yang bersumber dari Pokir DPRD. Ia juga mendesak adanya evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme pengadaan jasa kerjasama publikasi oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).”Banyak SKPD kebingungan karena dananya berasal dari Pokir, tanpa pedoman penggunaan yang jelas,” ujarnya.
Alif berharap evaluasi transparan ini dapat memastikan bahwa dana hibah benar-benar digunakan untuk kepentingan masyarakat, bukan hanya untuk kelompok tertentu.
Refleksi Kebijakan: Antara Penghapusan Bansos dan Evaluasi Anggaran
Di satu sisi, wacana penghapusan bansos disebut sebagai langkah efisiensi anggaran. Namun, di sisi lain, ada pertanyaan besar tentang bagaimana efisiensi ini akan diterapkan jika anggaran Pokir yang jauh lebih besar justru tidak dievaluasi.
Alif menyimpulkan bahwa evaluasi terhadap anggaran Pokir, termasuk hibah media, adalah langkah penting yang harus dilakukan. “Jika bansos untuk masyarakat kecil saja ingin dihapus, maka anggaran untuk media yang jumlahnya jauh lebih besar dan rawan penyimpangan juga harus ditinjau ulang. Jangan sampai ada standar ganda dalam pengelolaan anggaran,” tutupnya.
Pada akhirnya, publik bertanya: Apakah kebijakan ini benar-benar untuk efisiensi anggaran, atau justru untuk melindungi kepentingan segelintir pihak? (ELI NURUL. R)