Kota Tasikmalaya, LINTAS PENA—- “Sangat merinding dan geram sekali ketika mengetahui oknum seorang ustadz berinisial AR pemilik dan pemimpin Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Daarul Ilmi di Mangkubumi Kota Tasikmalaya ini, yang diduga kuat melakukan rudapaksa kepada anak didiknya yang berusia 13 tahun. Perbuatan tersebut dilakukan lebih dari 10 kali dan menyebabkan anak/santrinya mengalami trauma. Viralnya pemberitaan kasus pemerkosaan terhadap santrinya, anak di bawah umur oleh predator AR yang terjadi di Kota Tasikmalaya amat disayangkan karena menyeret nama pesantren. Kasus ini sangat menampar dan mempermalukan Kota Tasikmalaya yang notabene dikenal kota santri. ”ungkap Irjen Pol (Purn) Dr. H. Anton Charliyan, mantan Kapolda Jabar saat dimintai komentarnya terkait berita kasus rudapaksa tersebut, hari Sabtu 11 Januari 2025.
Abah Anton panggilan akrab Anton Charliyan sangat mengecam dan mengutuk keras terhadap perilaku ”predator” seksual AR yang mengaku ustadz.”AR itu bukan ustadz, tidak layak menyandang gelar mulia itu, Tapi dia itu seorang penjahat kelamin, predator seksual yang harus dihukum seberat beratnya. Karena dia telah merusak masa depan kaum Wanita (meskipun yang diketahui baru 1 orang santriwati), dia mencemarkan nama baik keberadaan pondok pesantren, merusak pendidikan agama yang dimuliakan, “tegasnya.
Anton Charliyan menegaskan, bahwa kasus dugaan asusila atau rudakpaksa atau pemerkosaan terhadap seorang santriwati berusia 13 tahun yang dilakukan oleh oknum ustadz sekaligus pemimpin Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Daarul Ilmi di Mangkubumi Kota Tasikmalaya berinisial AR sangat disesalkan. “Kasus ini harus menjadi perhatian bagi seluruh tokoh agama di Kota Tasikmalaya, termasuk dari pemerintahan maupun dinas/instansi terkait yakni Kemenag Kota Tasikmalaya, mengapa hal mengerikan seperti ini bisa terjadi di Kota Tasikmalaya yang selama ini dikenal sebagai Kota Santri,” tegasnya
Menurut mantan Kadiv Humas Polri ini, kasus rudapaksa tersebut berdampak buruk atau akan menjadi citra buruk di kalangan masyarakat bahwa ternyata ada orang yang berani menjual agama untuk kepentingan nafsunya saja. Karena didalamnya, mereka melakukan tindakan yang diharamkan oleh agama dan norma kehidupan,” Saya mengkhawatirkan kedepannya kepercayaan masyarakat kepada lembaga pendidikan berbasis pesantren akan memudar bahkan hilang, Karena adanya tindakan amoral yang dilakukan oknum sehingga memperburuk citra pesantren,khususnya di Kota Tasikmalaya yang agamis dikenal sebagai Kota Santri” ujarnya.
Anton Charliyan mengapresiasi jajaran apparat kepolisian Polres Tasikmalaya Kota yang telah gercep (gerak cepat) dalam menangani laporan Masyarakat terkait dugaan asusila yang dilakukan seorang oknum ustadz sekaligus pimpinan pondok Pesantren Rumah Tahfidz Daarul Ilmi berinisial AR, terhadap santriwatinya yang di bawah umur. ”Saya mengapresiasi jajaran Polres Tasikmalaya Kota yang telah gercep menangani kasus asusila ini. Dan ini tentunya menjadi catatan baik di awal tahun, karena polisi cepat dalam merespon laporan warga, sehingga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pihak kepolisian Polres Tasikmalaya Kota,”katanya
Sebagaimana diberikan, Polres Tasikmalaya Kota menetapkan pimpinan Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Daarul Ilmi berinisial AR (45), sebagai tersangka lantaran diduga melakukan rudapaksa kepada anak didiknya yang berusia 13 tahun. Perbuatan tersebut dilakukan lebih dari 10 kali dan menyebabkan anak mengalami trauma.
Kepala Satuan Resese Kriminal Polres Tasikmalaya Kota, AKP Herman Saputra, mengatakan, bahwa pihaknya mendapat laporan dari orang tua anak santriwati berasal dari Kecamatan Gunung Tanjung terkait dugaan kasus rudapaksa dilakukan oleh pimpinan Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Daarul Ilmi berinisial AR.”Kami melakukan rangkaian pemeriksaan berkaitan dengan dugaan tindak asusila dilakukan oleh pimpinan Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Daarul Ilmi berinisial AR pada anak didiknya di bawah umur. Dalam penyelidikan tersebut, pelaku mengakuinya telah menyetubuhi 4 kali sejak akhir tahun 2023 hingga November 2024,” katanya, Sabtu, 11 Januari 2025.
AKP Herman Saputra mengatakan gelar perkara penyidikan yang dilakukan terhadap AR terbukti melakukan perbuatan rudapaksa kepada anak didiknya di Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Daarul Ilmi sebagaimana yang dilaporkan oleh ibu kandungnya.Namun dalam pemeriksaan memiliki cukup bukti atas laporan tersebut dan menetapkan AR sebagai tersangka hingga bersangkutan sudah ditahan di rutan Polres Tasikmalaya Kota.
“Dugaan rudapaksa yang dilakukan oleh AR sudah cukup bukti dan selanjutnya proses penyidikan akan melengkapi berbagai hal yang diperlukan untuk kelancaran proses hukum dan tersangka terancam pasal 81 atau pasal 82 UU RI No 35 tahun 2014 tentang tindak pidana persetubuhan atau pidana perlindungan anak ancaman 15 tahun penjara,” jelasnya.
Setelah gelar perkara, kata Herman pada malam ini juga (Jumat 10 Januari 2025 malam) AR resmi ditetapkan sebagai tersangka. Selanjutnya, dilakukan penahanan terhadap AR di ruang tahanan Mako Polres Tasikmalaya Kota. Hal ini dilakukan untuk memperlancar proses hukum lebih lanjut.“Tersangka AR dijerat Pasal 81 Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak. Pasal ini mengatur pidana bagi pelaku persetubuhan dengan anak, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun,” ujarnya. Sedangkan di lokasi kejadian usai adanya kasus dugaan rudapaksa yang melibatkan pimpinan ponpes tersebut, petugas dan tokoh masyarakat di lingkungan rumah tahfidz Daarul Ilmi langsung menurunkan atribut-atribut yayasan yang terpasang. Selain itu, para orang santri juga melakukan penjemputan terhadap anak-anak mereka yang belajar di ponpes tersebut.
Sementara orang tua anak, IS, 41, warga Kecamatan Gunung Tanjung, mengatakan kejadian itu berawal dari kecurigaan anaknya melihat ada perubahan fisik tidak seperti anak biasanya setelah pulang libur dari Pondok Pesantren Rumah Tahfid Daarul Ilmi. Namun, orang tua wajib menanyakan dan menjawab semuanya apa yang dialaminya di pesantren merasa ada ketakutan.”Kami terkejut ketika putri saya menjawab dan berkata Pimpinan Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Daarul Ilmi berinisial AR, telah menyetubuhinya sejak tahun 2023 hingga bulan November 2024 lebih dari 10 kali dilakukan secara paksa. Atas kejadian tersebut, keluarga melaporkan ke Polres Tasikmalaya Kota supaya kasusnya diusut sesuai hukum yang berlaku,” katanya.
Aparat kepolisian pun telah menetapkan AR sebagai tersangka hingga bersangkutan sudah ditahan di rutan Polres Tasikmalaya Kota.
Anton Charliyan yang merasa geram dengan adanya kasus rudapaksa terjadi di Kota Tasikmalaya, dia mengatakan. “Saya tidak habis pikir dengan ulah bejat AR yang mengaku sebagai ustadz dan pimpinan Pondok Pesantren Rumah Tahfid Daarul Ilmi di Kecamatan Mangkubumi . Kalau menurut saya, dia bukan ustadz, melainkan predator seksual atau penjahat kelamin. Sebab, gelar ustadz itu sangat mulia. Kata “USTADZ” (guru) merujuk pada banyak istilah yang terkait dengan orang yang memiliki kemampuan ilmu agama dan bersikap serta berpakaian layaknya orang alim. Baik kemampuan riil yang dimilikinya sedikit atau banyak.Orang yang disebut ustadz antara lain: da’i, mubaligh, penceramah, guru ngaji Quran, guru madrasah diniyah, guru ngaji kitab di pesantren, pengasuh/pimpinan pesantren (biasanya pesantren modern).”tutur Abah Anton yang juga Pembina sejumlah majlis taklim.
Dengan adanya berita kasus seorang oknum ustadz di salah satu Pondok Pesantren Rumah Tahfid Daarul Ilmi di Kec.Mangkubumi Kota Tasikmalaya yang terus menjadi sorotan public, Anton Charliyan berharap, semoga masyarakat dan umat mengawal kasus ini agar pelaku dihukum seberat-beratnya.” “Saya juga berharap bagi para orangtua jangan menyamaratakan , karena masih banyak kyai, ulama serta pengurus lembaga pendidikan keagamaan yang bisa dijadikan guru dan panutan.Walaupun tidak bisa selalu bertemu, orangtua harus tetap memantau kondisi anak selama mondok di pesantren / asrama.”katanya
Anton Charliyan yang sering blusukan ke pondok pondok pesantren semasa menjabat Kapolda Sulses dan Kapolda Jabar, mengusulkan kepada pemerintah harus turun tangan dengan memperbanyak POLWAN dan KPAI untuk memberikan edukasi ke sekolah sekolah dan pesantren tentang masalah pelecehan, pemerkosaan, pembulian dan pengancaman. Setidaknya 2 atau 3 bulan sekali. “Berikan edukasi agar siswa siswi lebih berani untuk melapor..! Saya yakin kalau itu diterapkan insha Allah para oknum bejad akan berpikir 10 kali untuk melakukan asusila tersebut.”tuturnya
Lebih lanjut, Anton Charliyan mengusulkan, bahwa semua guru pesantren perempuan & wakil santriwatinya dilibatkan jadi pengawas khusus bagi perempuan & anak. Melakukan tugas & fungsi pengawasan internal independen di pesantren tsb, bisa proaktif melaporkan kepada aparat penegak hukum, mendapatkan jaminan perlindungan hukum & rehabilitasi, mendapatkan akses cepat khusus untuk melaporkan langsung melalui tlpn/hp atau secara langsung apabila diduga telah terjadi pelanggaran kekerasan seksual terhadap santri perempuan, bekerjasama dengan KPAI, SPKT Polsek & Koramil setempat.
Demikian pula, lanjut Anton Charliyan, Kemenag harus proaktif dalam mengawasi lembaga lembaga Pendidikan yang berada dibawah naungannya, mulai dari pondok pesantren, pondok pondok tahfidz, madrasah (RA/MI/MTs/MA) dan lainnya.Bagaimanakah bentuk pengawasan Kemenag terhadap Pondok Pesantren Rumah Tahfid Daarul Ilmi dan lembaga pendidikan sejenisnya selama ini, semoga tidak ada lagi kejahatan yang sangat membahayakan seperti ini..pungkasnya. (REDI MULYADI)***