Uncategorized

Sudah Tepatkah Pemimpin Wanita di “Kota Seribu Pesantren” Kabupaten Tasikmalaya ?

3
×

Sudah Tepatkah Pemimpin Wanita di “Kota Seribu Pesantren” Kabupaten Tasikmalaya ?

Sebarkan artikel ini

KAB.TASIKMALAYA—-Sampai saat ini masih ada intelektual muslim yang masih pro-kontra mengenai kesimpulan boleh tidaknya seorang  perempuan menjadi pemimpin di pemerintahan, khususnya sebagai kepala negara dan atau kepala daerah (gubernur.walikota/bupati). Pro-kontra ini secara umum terjadi terkait penafsiran firman Allah dalam Alquran Surat An-Nisa ayat 34 yang  berbunyi, ”Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan”.

Begitu pun dengan akan dilaksanakannya pemilihan suara ulang (PSU) atau Pilkada Ulang Kabupaten Tasikmalaya 19 April 2025, dimana kandidat Bupati Tasikmalaya nomor 3 yakni Hj.Ai Diantani yang diusung koalisi parpol PDIP,PKB,NasDem dan PBB yang berpasangan dengan calon Wakil Bupati Iip Miftahul Faoz. Pencalonan bupati perempuan di Pilkada Ulang Kabupaten Tasikmalaya menimbulkan pro-kontra di kalangan ulama, bahkan lebih banyak yang kontra atau menolak kepemimpinan di Kabupaten Tasikmalaya oleh seorang wanita.

KH Bobon salah seorang ulama dari Pondok Pesantren Suryalaya mengungkapkan, bahwa dirinya bukan tidak setuju kalau pemimpin (kepala daerah) dijabat oleh perempuan. ”Khusus kepemimpinan di Kabupaten Tasikmalaya atau yang menjabat Bupati Tasikmalaya oleh perempuan, rasanya kurang tepat saja. Karena selama ini, Kabupaten Tasikmalaya dikenal sebagai Kota Santri atau Kabupaten Seribu Pesantren, rasanya kurang sreg kalau bupatinya seorang perempuan.”ujarnya

Dalam sejarah pemilihan kepala daerah di Kabupaten Tasikmalaya, lanjut KH.Bobon, belum pernah ada pemimpin perempuan yang benar-benar mendapat dukungan kuat dari mayoritas masyarakat. Dia mencontohkan ketika pencalonan Hj.Dedeh T Widarsih pada Pilkada Kabupaten Tasikmalaya beberapa waktu yang lalu,”Beliau tidak mendapat dukungan sama sekali dari kalangan pesantren,ulama.”ujarnya.

KH.Ujang Hidayatulloh pimpinan PP Assyukandary Tasikmalaya mengungkapkan, bahwa Kabupaten Tasikmalaya satu satunya kabupaten yang harus melaksanakan PSU di Jawa Barat atas amanah MK. Ini lebih diakibatkan karena syahwat dinasti yang terlalu dominan. ”Padahal kita tahu bahwa Kabupaten Tasikmamalaya memiliki visi misi Religius Islam dengan harapan agar nilai-nilai Islam tertanam menjadi karakter baik masyarakat maupun pelayanan masyarakat….Dalam hal ini diharapkan semua tatanan & pengelolaan serta pelayanan dijiwai dengan semangat religius Islami. Namun pada realitanya, masyarakat disuguhi dagelan &  dibodohi dengan pencalonan yang nota bene sudah 2 (dua) kali menjabat sebagai Bupati Tasikmalaya. Pencalonan istrinya (Hj. Ai Diantani) terkesan sangat dipaksakan untuk melanggengkan dinastinya, meski banyak ditolak masyarakat, terutama bupati perempuan yang tidak mendapat restu dari kalangan pesantren,”paparnya.

Karena syahwat dinasti yang terlalu dominan, lanjut KH Ujang Hidayatulloh, yang pada akhirnya dengan berat hati masyarakat harus mengikuti  PSU, yang jelas merugikan masyarakat karena memakan anggaran disisi lain tentu kita ketinggalan jauh dari Pemda lain dalam memberikan pelayan publik, terlebih pendekatan kesejahteraan saya pikir ini suatu pemborosan, dan entas siapa yg bertanggung jawab. ”Namun bagaimanapun kita harus memiliki pemimpin yabg syah serta amanah berjiwa religius Islami yang tidak hanya mementingkan pribadi dan golongan, akan tetapi lebih kepada kepentingan masyarakat Kabupaten Tasikmalaya,dan itu ada disosok pasangan calon nomor 2 Cecep-Asep, yang layak memimpin ” tegasnya

            Demikian pula disampaikan Gus Rohmat pimpinan Majelis Dzikir Batu Mahpar mengatakan,”Saya berpendapat, tidak tepat jika Kabupaten Tasikmalaya dipimpin oleh seorang perempuan. Dalam tanda kutip,merujuk pada  dalil Surat An-Nisa ayat 34 yang menyebutkan arrijalu qowamuna alaa nisa,artinya bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kalangan perempuan.  ”katanya

            ”Apalagi jika merujuk, bahwa Kabupaten Tasikmalaya, yang dikenal sebagai Kota Santri atau Kabupaten Seribu Pesantren, selalu menjunjung tinggi nilai-nilai religius dalam dinamika politiknya. ”pungkasnya. (REDI MULYADI)*****

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *