Oleh: Fikriansyah (NIM : 24200007, Prodi : Ilmu Hukum)
1.Dasar Pemikiran
Ilmuwan Barat:
Konsep negara dalam pandangan ilmuwan Barat umumnya bersifat sekuler, menempatkan rasionalitas dan pengalaman manusia sebagai dasar utama pembentukan negara. Negara dianggap sebagai hasil kontrak sosial atau kebutuhan masyarakat untuk mencapai keteraturan dan keadilan.
Pengertian negara menurut ilmuan barat.Konsep negara menurut ilmuwan Barat telah berkembang dari masa ke masa, dipengaruhi oleh berbagai pandangan filsafat, politik, dan hukum. Berikut adalah beberapa pandangan dari ilmuwan Barat terkenal mengenai konsep negara:
1. Plato (427-347 SM)
Plato, dalam karyanya Republic, menggambarkan negara sebagai sebuah entitas yang ideal. Negara menurut Plato adalah hasil dari kebutuhan manusia untuk hidup bersama secara harmonis. Ia membagi masyarakat ke dalam tiga kelas utama:
Filosof (pemimpin), yang bertugas memerintah.
Prajurit, yang bertugas menjaga keamanan.
Produsen (petani, pedagang, pengrajin), yang memenuhi kebutuhan materiil.Plato menekankan pentingnya keadilan, di mana setiap kelas menjalankan tugasnya tanpa campur tangan kelas lain.
2. Aristoteles (384-322 SM)
Aristoteles, murid Plato, mendefinisikan negara dalam Politics sebagai “suatu komunitas politik yang bertujuan mencapai kebaikan bersama.” Ia menganggap manusia sebagai zoon politikon (makhluk politik) yang secara alami membutuhkan kehidupan bernegara. Negara, menurut Aristoteles, adalah puncak perkembangan organisasi sosial, dimulai dari keluarga dan desa.
3. Thomas Hobbes (1588-1679)
Hobbes, dalam bukunya Leviathan, menggambarkan negara sebagai hasil dari kontrak sosial. Ia percaya bahwa tanpa negara, manusia akan hidup dalam keadaan state of nature, yang penuh dengan konflik dan kekacauan. Oleh karena itu, manusia menyerahkan sebagian kebebasannya kepada penguasa absolut untuk menciptakan ketertiban dan keamanan.
4. John Locke (1632-1704)
Locke, dalam Two Treatises of Government, juga mendasarkan konsep negara pada kontrak sosial. Namun, berbeda dengan Hobbes, ia memandang negara sebagai pelindung hak-hak alamiah manusia, seperti hak atas kehidupan, kebebasan, dan kepemilikan. Jika negara melanggar hak-hak ini, rakyat memiliki hak untuk mengganti pemerintah.
5. Jean-Jacques Rousseau (1712-1778)
Rousseau, dalam The Social Contract, mengembangkan gagasan bahwa negara harus didasarkan pada kehendak umum (general will). Menurutnya, negara ada untuk memastikan kebebasan dan kesetaraan bagi semua warga negara. Ia menekankan pentingnya partisipasi langsung rakyat dalam pengambilan keputusan.
6. Montesquieu (1689-1755)
Montesquieu, dalam bukunya The Spirit of Laws, memperkenalkan konsep pemisahan kekuasaan (legislatif, eksekutif, yudikatif) sebagai prinsip dasar dalam struktur negara. Tujuannya adalah untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan menjaga kebebasan individu.
7. Max Weber (1864-1920)
Weber mendefinisikan negara sebagai “entitas yang memiliki monopoli atas penggunaan kekuatan fisik yang sah dalam suatu wilayah.” Menurutnya, negara modern memiliki tiga jenis legitimasi kekuasaan:
Ilmuwan Muslim.
Negara dipandang sebagai bagian dari agama (dīn wa dawlah). Konsep negara dalam Islam berakar pada ajaran Al-Qur’an dan Hadis, di mana kekuasaan dianggap sebagai amanah dari Allah. Ilmuwan seperti Al-Mawardi, Ibn Khaldun, dan Al-Farabi menekankan prinsip keadilan, syariah sebagai dasar hukum, dan tanggung jawab pemimpin terhadap Allah dan rakyat.
Pengertian negara menurut ilmuan islam
1.Al-Mawardi (972–1058)
Dalam karyanya Al-Ahkam As-Sultaniyyah, Al-Mawardi menjelaskan konsep negara berdasarkan sistem kekhalifahan. Menurutnya:Negara bertujuan untuk menegakkan syariat Islam dan menjaga stabilitas sosial.Pemimpin negara (khalifah) harus memenuhi syarat seperti adil, berilmu, sehat jasmani, dan keturunan Quraisy.
Pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat dan penegakan keadilan.
2.Ibnu Khaldun (1332–1406)
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah mendefinisikan negara sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pandangannya:Negara adalah produk perkembangan sosial yang alami.Negara bertujuan untuk menegakkan keadilan dan keamanan agar peradaban berkembang.Ia menekankan pentingnya solidaritas sosial (asabiyyah) sebagai kekuatan utama dalam pembentukan dan keberlanjutan negara.
3.Al-Farabi (872–950)
Al-Farabi dalam Al-Madina Al-Fadilah menggambarkan negara ideal:Negara harus dipimpin oleh seorang filsuf yang bijaksana, adil, dan memiliki visi moral tinggi.Negara ideal berfungsi untuk membantu masyarakat mencapai kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.Keharmonisan sosial dapat tercapai jika pemerintah mampu memadukan kebijakan etis dengan nilai-nilai spiritual.
4.Imam Ghazali (1058–1111)
Imam Ghazali melihat hubungan erat antara agama dan negara. Dalam karyanya Ihya Ulumuddin, ia menyatakan:
Agama adalah fondasi negara, sedangkan negara adalah pelindung agama.
Pemimpin harus memiliki akhlak yang baik dan berkomitmen pada syariat Islam.
Negara bertujuan untuk menjaga agama, menegakkan keadilan, dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
5.Sayyid Qutb (1906–1966)
Dalam konteks modern, Sayyid Qutb mengajukan gagasan Hakimiyyah, yaitu kedaulatan Tuhan:Negara harus didasarkan pada hukum Allah (syariat Islam).Sistem sekuler ditolak karena dianggap bertentangan dengan konsep tauhid.Negara berfungsi untuk memastikan pelaksanaan hukum Allah di semua aspek kehidupan.
2.Tujuan Negara
Ilmuwan Barat:
Tujuan negara adalah untuk melindungi hak asasi manusia, menjaga keamanan, dan menjamin kebebasan individu. Pandangan ini dapat ditemukan dalam teori-teori Locke (hak alamiah), Hobbes (keamanan dan keteraturan), dan Rousseau (kehendak umum).
Ilmuwan Muslim:
Tujuan negara adalah untuk menegakkan syariah, mencapai keadilan sosial, menjaga kehormatan manusia, serta memastikan kesejahteraan duniawi dan ukhrawi (maslahah). Negara bertugas menjalankan perintah Allah dan menegakkan kebaikan serta mencegah kemungkaran.
3.Asas Kekuasaan
Ilmuwan Barat:
Kekuasaan berasal dari rakyat, berdasarkan konsep demokrasi dan kedaulatan rakyat. Dalam pandangan Montesquieu, misalnya, pembagian kekuasaan (eksekutif, legislatif, yudikatif) penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Ilmuwan Muslim:
Kekuasaan berasal dari Allah, dan pemimpin hanya sebagai wakil atau khalifah yang menjalankan amanah-Nya. Prinsip ini menekankan konsep ketaatan kepada Allah di atas segalanya, sebagaimana yang diuraikan oleh Al-Mawardi dalam “Al-Ahkam As-Sulthaniyah”.
4.Hubungan Agama dan Negara
Ilmuwan Barat:
Sebagian besar pandangan Barat memisahkan agama dari negara (sekularisme). Negara tidak boleh mencampuri urusan agama, sebagaimana diteorikan oleh John Locke dalam esai “Letter Concerning Toleration”.
Ilmuwan Muslim:
Tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Negara adalah alat untuk menegakkan syariah dan menjalankan nilai-nilai Islam. Konsep ini banyak didukung oleh ulama seperti Ibn Taimiyyah dan Al-Ghazali.
5.Keadilan dan Hukum
Ilmuwan Barat:
Keadilan dijalankan berdasarkan hukum positif yang disusun manusia. Hukum dibuat melalui konsensus sosial untuk menjaga keteraturan.
Ilmuwan Muslim:
Keadilan adalah bagian dari perintah Allah yang diwujudkan melalui penerapan syariah. Hukum syariah diambil dari Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan Qiyas, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Khaldun.
Kesimpulan
Ilmuwan Barat lebih fokus pada rasionalitas, sekularisme, dan kebebasan individu sebagai dasar pembentukan negara.Ilmuwan Muslim menjadikan syariah sebagai landasan, dengan tujuan akhir mencapai ridha Allah dan kesejahteraan umat.
Pandangan ini menunjukkan perbedaan mendasar terkait nilai, tujuan, dan asas yang memengaruhi konsep negara menurut kedua tradisi intelektual tersebut.(****