NasionalPolitik

Hukum: Pembenaran VS Kebenaran

2
Hukum: Pembenaran VS Kebenaran

Catatan:  Dr. Suriyanto, SH, MH, M.Kn.,(Praktisi Hukum)

Kebenaran yang hakiki itu hanya datang dari Sang Maha Pencipta sebagai hukum alam yang tiada satu manusia pun dapat memprediksinya, berbanding terbalik dengan hukum positif yang dapat dibalik fakta kan oleh oknum manusia, pembuat hukum itu sendiri sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya.

Seperti yang terjadi saat ini pada keruntuhan Mahkamah Konstitusi paska putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Yang masih terus menjadi perdebatan publik karena putusan tingkat dewa ini kuat dan mengikat tiada banding yang harus dilaksanakan, sekalipun dalam prosesnya melanggar hukum, seperti adanya benturan kepentingan ketua MK yang sudah di berhentikan, penambahan frasa yang bukan kewenangannya, pelanggaran etik berat dan ringan oleh majelis agung yang mulia Hakim Konstitusi.

Padahal sangat jelas dan terang MKMK telah memutuskan bahwa ketua MK Anwar Usman melakukan pelanggaran etik berat dan diberhentikan dari jabatan selalu ketua MK, dan hakim yang lainnya terbebas dari hukuman sekalipun melakukan pelanggaran etik ringan, hal ini semakin membuat logika hukum seperti tidak memiliki arah yang jelas dalam penegakan hukum di negara hukum. Sejalan dengan putusan MK MK tersebut telah terbukti secara nyata putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 ini jelas secara subtansial juga mempersoalkan pasal yang sama yaitu perkara Nomor 29,51 dan 55 yang secara tegas ditolak disidang MK sebelumnya, karena hal tersebut kewenangan open legal policy.

Berdasarkan UU Nomor 48 tahun 2008 pasal 17 ayat (5) kekhawatiran masyarakat terbukti tentang benturan kepentingan dalam memutus perkara Nomor 90 tentang capres dan cawapres yang maju di 2024 mendatang. Pasal 17 ayat (5) ini jelas dan terang untuk dikhususkan melindungi Konstitusi NRI dari kejahatan oknum Hakim yang menjalankan MK, sesuai kriteria pada pasal 24 C ayat (5) UUD 1945 NRI.

Tetapi yang jadi pertanyaan publik khususnya Ahli hukum yang benar, kenapa MKMK tidak dapat melihat hal tersebut secara jernih, dan masih terus menerus terjadi silang pendapat tentang putusan MK yang cacat hukum harus dilaksanakan, dimana marwah hukum kita saat ini, untuk siapa hukum sebenarnya dibuat, karena jelas dan terang seterang terang nya bahwa, pelanggaran terhadap pasal 17 ayat (5) tentang kekuasaan kehakiman adalah pelanggaran terhadap pasal 24 C ayat (5) UUD NRI, seharusnya putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 ini karena telah terjadi pelanggaran Hukum dan Kejahatan Hukum serta merta harus Batal Demi Hukum, tetapi nyata-nyata putusan tersebut digunakan untuk daftar salah satu cawapres yang notabenenya masih anak Pak Jokowi yang masih sebagai Presiden RI, dan KPU menerima pula putusan tersebut ada apa?

 Hal ini menjadi satu preseden buruk bagi hukum Indonesia Rakyat harus tau hal tersebut.” Jika putusan tersebut tetap dilaksanakan maka produknya juga cacat Hukum. (Praktisi Hukum).

Exit mobile version