Majalengka, NUANSA POST – Kasus penahanan INA oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (Kejati Jabar) mengguncang publik. Banyak pihak, termasuk relawan GERAK, menduga bahwa langkah tersebut tidak luput dari muatan kepentingan politik.
Koordinator relawan GERAK, Ari Sobari, S.E., menyatakan bahwa penahanan INA bukanlah sesuatu yang luar biasa. Sebaliknya, Ari melihat tindakan tersebut sebagai gambaran buruk dari penegakan hukum di Indonesia.
“Dalam konstitusi, Indonesia dideklarasikan sebagai negara hukum. Namun, praktiknya menunjukkan bahwa penegakan hukum sering dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politik,” ujar Ari dalam konferensi pers, Kamis 31 Maret 2024
Menurut Ari, motif di balik penahanan INA diyakini terkait dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), yang menyoroti rapuhnya penegakan hukum di Indonesia. Ia menekankan perlunya keberanian dari pihak Kejaksaan Tinggi untuk menindak lanjuti dugaan korupsi dan memastikan keadilan berjalan.
Ari menegaskan, “Jika penahanan INA tidak bermuatan kepentingan politik, maka Kejati harus berani menindak pelaku lain yang diduga terlibat dalam praktik korupsi tersebut.”
Publik dikejutkan dengan nama-nama baru yang muncul dalam kasus ini, yaitu E dan M. Menurut pengakuan AN dan kuasa hukumnya, Dede Kusnandar, selama pemeriksaan oleh tim penyidik Kejati Jabar, terungkap bahwa ada permintaan uang dari M atas dasar suruhan E.
Kasus ini semakin memperjelas ketika INA ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Kejati Jabar, dengan dakwaan melanggar beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi.
Penahanan INA menjadi sorotan karena mencuatkan dugaan kuat akan politisasi penegakan hukum, menyisakan pertanyaan besar tentang integritas lembaga peradilan dalam menangani kasus-kasus korupsi di Indonesia. (SITI AMINAH)