Uncategorized

FORWATUR Tasikmalaya Soroti Kajian Yuridis Formal Terhadap Pembangunan Revitalisasi Gedung PLUT di Desa Pamoyonan Kec.Kadipaten

4

Kab. Tasikmalaya, NUANSA POST– Program revitalisasi yang di turunkan Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya, dengan anggaran yang cukup fantastis yaitu ± Rp. 3,5 Miliar, di mana anggaran dengan nilai yang pantastic, harusnya segala aturanya yang sudah di jelaskan dalam Rencana Anggaran Bangunan( RAB) dari beberapa item yang harus ditaati oleh pemborong di antaranya Alat Keselamatan Kerja.

Adapun masalah K3, para pekerja wajib memakai sepatu boot, pake helm dan pakai baju rompi. Namun apa yang kami temukan di lapangan, para pekerja berpakaian seadanya tidak berpakaian sebagaimana mestinya. Kalau ditarik ke aturan yang ada,

kasus pembangunan tambahan Gedung Pusat Layanan Usaha Terpadu (PLUT) di Desa Pamoyanan, Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Tasikmalaya, yang diduga belum memiliki perizinan lengkap, menjadi sorotan tajam dari berbagai pihak, termasuk media, LSM, dan elemen masyarakat.

Seperti halnya Forum Wartawan Tasik Utara (FORWATUR0 Tasikmalaya  menyoroti pembangunan tersebut disinyalir tidak mengantongi beberapa izin penting, seperti Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), dan Persetujuan Lingkungan (PL), yang secara legal merupakan pelanggaran serius terhadap regulasi perizinan di Indonesia.

Menurut Ketua FORWATUR Halim Saepudin mengungkapkan, Landasan Hukum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 36 UU Penataan Ruang mengatur bahwa setiap kegiatan pemanfaatan ruang harus memiliki Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) sebagai bentuk izin yang mengatur pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku. Tanpa KKPR, setiap kegiatan pembangunan dapat dianggap ilegal dan tidak sesuai dengan peraturan tata ruang yang telah ditetapkan, ungkapnya.

Selain itu, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Berdasarkan UU ini,setiap bangunan gedung harus memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang kini telah digantikan oleh Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) sesuai dengan UU Cipta Kerja. PBG diperlukan untuk memastikan bahwa bangunan gedung telah memenuhi persyaratan teknis dan tata ruang yang berlaku, jelasnya.

Halim juga menuturkan, Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, PP ini mengatur lebih lanjut tentang prosedur pengajuan dan penerbitan PBG. Setiap pembangunan harus dilengkapi dengan PBG sebelum proses konstruksi dimulai. Hal ini untuk memastikan bahwa bangunan sesuai dengan standar keselamatan, kesehatan, dan tata ruang yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah, tuturnya.

“Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU ini mengatur tentang pentingnya Persetujuan Lingkungan (PL) sebelum memulai suatu kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak signifikan terhadap lingkungan. PL merupakan bagian dari analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) atau UKL-UPL yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha atau pemerintah dalam proyek pembangunan,” katanya.

Adapun Analisis Yuridis Ketidakpatuhan Terhadap Regulasi Perizinan, Halim menambahkan, Berdasarkan informasi yang beredar, pembangunan tambahan Gedung PLUT di Desa Pamoyanan diduga tidak dilengkapi dengan KKPR, PBG, dan PL. Ketidakpatuhan terhadap peraturan perizinan ini tidak hanya melanggar ketentuan dalam UU Penataan Ruang, UU Bangunan Gedung, dan UU Perlindungan Lingkungan Hidup, tetapi juga menimbulkan risiko hukum dan lingkungan yang serius, tambahnya.

“Implikasi Hukum, Jika benar bahwa pembangunan tersebut dilakukan tanpa perizinan yang lengkap, maka pihak pelaksana proyek, dalam hal ini CV. Lia Jaya, dapat dikenakan sanksi administratif, termasuk penghentian sementara atau permanen kegiatan pembangunan, pencabutan izin, dan denda administratif. Selain itu, pihak pemerintah daerah yang lalai dalam pengawasan juga dapat dimintai pertanggungjawaban, baik secara administratif maupun secara hukum,” paparnya.

Untuk tanggungjawab pemerintah, Pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Pekerjaan Umum, Tata Ruang, dan Lingkungan Hidup (DPUTRLH) Kabupaten Tasikmalaya, seharusnya memastikan bahwa setiap proyek pembangunan, terutama yang menggunakan anggaran negara, telah memenuhi semua persyaratan perizinan yang berlaku. Kegagalan dalam melakukan pengawasan dan verifikasi perizinan menunjukkan adanya kelalaian dalam menjalankan fungsi pengawasan pemerintah, ujar Halim.

Hal senada disampaikan oleh Bidang OKK FORWATUR yaitu M. Ali, dimana Kasus pembangunan tambahan Gedung PLUT di Desa Pamoyanan, Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Tasikmalaya, yang diduga belum dilengkapi dengan perizinan yang memadai, merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap regulasi yang berlaku di Indonesia. Pelanggaran ini menunjukkan adanya kelemahan dalam pengawasan pemerintah dan ketidakseriusan dalam mematuhi hukum, yang seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat, katanya.

“Oleh karena itu, disarankan agar Audit dan Penghentian Sementara: Pemerintah daerah segera melakukan audit terhadap kelengkapan perizinan proyek tersebut. Jika ditemukan pelanggaran, proyek pembangunan harus dihentikan sementara hingga semua izin terpenuhi,” tegasnya.

M. Ali juga menambahkan, Penegakan Hukum yang Tegas, Penerapan sanksi tegas terhadap pihak pelaksana proyek yang melanggar regulasi perizinan untuk menegakkan kepatuhan hukum dan menjaga kredibilitas pemerintah, Peningkatan Pengawasan DPUTRLH Kabupaten Tasikmalaya harus meningkatkan pengawasan terhadap seluruh proyek pembangunan, khususnya yang menggunakan dana publik, untuk memastikan kepatuhan terhadap semua peraturan perizinan yang berlaku, imbuhnya.

“Dengan mengambil langkah-langkah ini, diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah dapat dipulihkan, dan pembangunan infrastruktur dapat berjalan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku,” pungkasnya.(ANDRI Hs)

Exit mobile version